Pages

Rabu, 21 Desember 2011

   Masyarakat Samin

Samin. Kata itu erat kaitannya dengan nama Ki Samin Surosentiko, leluhur masyarakat Samin, yang lahir sekitar tahun 1859 di daerah Randublatung, Blora (Jateng). Ia bangsawan yang punya kepedulian begitu besar pada rakyat jelata. Samin adalah Robin Hood yang gemar menjarah harta orang-orang Belanda dan lintah darat, untuk dibagikan kepada masyarakat bawah. Konon, tahun 1905 pengikut Samin mencapai 5.000 orang, tersebar di wilayah Bojonegoro, Madiun, Ngawi (Jatim), Blora, Pati, Kudus, dan Grobogan (Jateng). Jepang sendiri masuk di Kecamatan Margomulyo, kecamatan terpencil di Kab Bojonegoro. Hidup mereka berpegang pada Jamus Kalimasada, sebuah kitab geguritan (puisi) dan gancaran (prosa) bahasa Jawa, yang intinya berisi ajaran pengendalian diri.

Nilai yang diajarkan dalam ajaran samin bukanlah stereotipe yang selama ini berkembang dalam masyarakat. Mereka memang lugu dan semua teks ditafsirkan secara harfiah. Sikap ini tak bisa dilepaskan dari semangat melawan kolonialisme. Ajaran samin juga mengajaran cinta kasih sesama manusia dan toleransi. Bagi mereka, keberagaman merupakan sesuatu yang tak perlu diperdebatkan lagi. Keberagaman harus dihormati, bukan untuk diseragamkan, apalagi dipaksa untuk sama. Mereka sangat menghormati siapa pun tanpa membeda-bedakan.
Keikhlasan juga menyertai kehidupan sehar-hari mereka. Ketika kehilangan sesuatu, mereka tetap tenang, tak gusar.“Malinge iku lagi butuh le. Yo wis ben ae dienggo nyukupi kebutuhane (pencurinya itu sedang butuh nak. Ya sudah, biar saja dipakai untuk cukupi kebutuhannya),” pernyataan seorang anggota komunitas sedulur sikep yang baru kehilangan sepeda anginnya.Terhadap lingkungan, sedulur sikep punya kearifan dalam memelihara kelestariannya. Bagi sedulur sikep, lingkungan atau alam tak boleh ditaklukkan. Keseimbangan dengan alam harus dijaga untuk menjaga kelangsungan hidup. Hal ini erat dengan kehidupan sedulur sikep, sebagai petani. Bagi mereka, pekerjaan ialah bertani. Namun, seiring perkembangan zaman, konsep ini berkembang. Bekerja tak harus di sawah, bisa juga di ranah lainnya, kecuali berdagang. Mereka tak mengejar kekayaan material, lebih dari itu, mengutamakan pada kekayaan ingatan atau kewaspadaan (sugih eling). Dalam menjalani hidup, sedulur sikep mempunyai lima prinsip dasar (adeg-adeg) yang tak boleh dilanggar, yakni: jangan memiliki perasaan dengki srei, panasten, dakwen, kemeren. Selain itu, mereka juga selalu diajarkan untuk tidak bertindak bedog colong (mencuri), pethil jumput (mengambil sesuatu yang bukan haknya), dan nemu (menemukan sesuatu yang bukan miliknya). Kelima prinsip dasar inilah yang menuntun hidup sedulur sikep dalam menjalani kehidupan yang, menurut Raja Jayabaya, hanya sekedar nunut ngombe (menumpang minum).
Cap konotatif terhadap keberadaan sedulur sikep atau lebih populer disebut wong samin ini, harus dibuang jauh. Cerita yang selama ini berkembang di masyarakat terkait wong samin harus diubah. Bila perlu, nilai-nilai komunitarian sedulur sikep layak untuk jadi renungan bersama di tengah krisis multi-dimensi saat ini. Keluguan, kejujuran, dan kesederhanaan bukanlah sesuatu yang hanya ada di langit saja. Dalam komunitas sedulur sikep kita bisa menemukan hal itu.
Orang Samin juga punya acuan figur bernama Puntadewa. Raja Amarta di dunia pewayangan merupakan tipikal orang sabar, jujur, pantang berbohong, selalu berkata apa adanya. Tak mengherankan bila hingga saat ini wayang kulit masih menjadi tontonan favorit di Jepang.Ajaran yang disebut sebagai "Agama Adam" di atas sangat berpengaruh pada pola hidup sehari-hari masyarakat Samin. Dalam hal mata pencaharian misalnya, mereka hanya menggeluti pekerjaan petani, penggembala sapi atau kambing, atau sesekali nyambi sebagai tukang ojek. Pekerjaan pedagang, yang kadangkala perlu trik atau berbohong, dijauhi orang Samin. Oleh karena itulah di Jepang tak ada warung. Umpatan, sumpah serapah, hujatan, dan kata-kata yang menyakitkan, juga jarang terlontar dari mulut mereka. Ngerumpi pun jarang dijumpai di sana.
Sewaktu zaman penjajahan, mereka benci setengah mati pada wong Londo (bangsa Belanda). Itu antara lain dilakukan dengan menebang kayu jati seenaknya dan menolak bayar pajak. "Kami yang menanam kayu itu" atau "Tanah ini dibuat Pangeran (Tuhan), bukan manusia," demikian alasannya. Kebiasaan tak bayar pajak sempat bertahan sampai Indonesia merdeka. Pasalnya, masyarakat Samin tak tahu kalau penjajahan telah berakhir. Baru ketika Surokerto Kamidin (generasi penerus Ki Samin) menghadap Bung Karno, tahu bahwa wong Jowo wis dipimpin wong Jowo (orang Jawa telah dipimpin orang Jawa). Sejak saat itu, mereka taat kepada pemerintah yang dianggap bangsa sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar